Sabtu, 08 Agustus 2009



Danau Toba dengan pulau Samosir

Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik dengan ukuran luas 100km x 30km di Sumatera Utara, Sumatera, Indonesia. Di tengah danau ini terdapat sebuah pulau vulkanik bernama Pulau Samosir.

Danau Toba sejak lama menjadi daerah tujuan wisata penting di
Sumatera Utara selain Bukit Lawang dan Nias, menarik wisatawan domestik
maupun mancanegara.

Diperkirakan Danau Toba terjadi saat ledakan sekitar 73.000-75.000 tahun yang lalu dan merupakan letusan supervolcano (gunung berapi super) yang paling baru. Bill Rose dan Craig Chesner dari Michigan Technological University memperkirakan bahwa bahan-bahan vulkanik yang dimuntahkan gunung itu sebanyak 2800km3, dengan 800km3 batuan ignimbrit dan 2000km3
abu vulkanik yang diperkirakan tertiup angin ke barat selama 2 minggu.
Debu vulkanik yang ditiup angin telah menyebar ke separuh bumi, dari
cina sampai ke afrika selatan. Letusannya terjadi selama 1 minggu dan
lontaran debunya mencapai 10 KM diatas permukaan laut.
Kejadian ini menyebabkan kematian massal dan pada beberapa spesies juga diikuti kepunahan. Menurut beberapa bukti DNA,
letusan ini juga menyusutkan jumlah manusia sampai sekitar 60% dari
jumlah populasi manusia bumi saat itu yaitu sekitar 60 juta manusia.
Letusan itu juga ikut menyebabkan terjadinya zaman es, walaupun para
ahli masih memperdebatkan soal itu.
Setelah letusan tersebut, terbentuk kaldera yang kemudian terisi oleh air dan menjadi yang sekarang dikenal sebagai Danau Toba. Tekanan ke atas oleh magma yang belum keluar menyebabkan munculnya Pulau Samosir.

sejarah letusan gunung galunggung



Galunggung adalah gunungapi aktif strato tipe-A yang terletak di Kabupaten Tasikmalaya dan Garut, Jawa Barat dengan koordinat geografis sekitar 7° 15′ LS dan 108°03′ BT. Galunggung mempunyai ketinggian 2168 m di atas muka laut dan 1820 m diatas dataran Tasikmalaya. Berdasarkan catatan dari DVMBG, gunung Galunggung menempati daerah seluas ±275 km2 dengan diameter 27 km (barat laut-tenggara) dan 13 km (timur laut-barat daya). Di bagian barat berbatasan dengan G. Karasak, dibagian utara dengan G. Talagabodas, di bagian timur dengan G. Sawal dan di bagian selatan berbatasan dengan batuan tersier Pegunungan Selatan. Secara umum, G. Galunggung dibagi dalam tiga satuan morfologi, yaitu: Kerucut Gunung Api, Kaldera, dan Perbukitan Sepuluh Ribu
Kerucut gunung api, menempati bagian barat dan selatan, dengan ketinggian 2168 m diatas permukaan laut, dan mempunyai sebuah kawah tidak aktif bernama Kawah Guntur yang berbentuk melingkar berdiameter 500 meter dengan kedalaman 100 – 150 meter. Kerucut ini merupakan kerucut gunungapi Galunggung tua sebelum terbentuknya Kaldera, mempunyai kemiringan lereng hingga 30° di daerah puncak dan menurun hingga 5° di bagian kaki. Kaldera Galunggung berbentuk sepatu kuda yang terbuka ke arah tenggara dengan panjang sekitar 9 km dan lebar antara 2-7 km. Dinding Kaldera mempunyai ketinggian maksimum sekitar 1000 meter di bagian barat-barat laut dan menurun hingga 10 m di bagian timur-tenggara.

Di dalam kaldera terdapat kawah aktif berbentuk melingkar dengan diameter 1000 meter dan kedalaman 150 meter. Di dalam kawah ini terdapat kerucut silinder dengan ketinggian 30 meter dari dasar kawah dan kaki kerucut berukuran 250 x 165 meter yang terbentuk selama periode letusan 1982-1983. Pada Desember 1986, kerucut silinder ini tertutup oleh air danau kawah; dan pada 1997, setelah volume air danau kawah dikurangi melalui terowongan pengendali air danau, kerucut silinder ini muncul kembali di permukaan air danau. Perbukitan Sepuluh Ribu atau disebut juga perbukitan “Hillock”, terletak di lereng kaki bagian timur-tenggara dan berhadapan langsung dengan bukaan kaldera. Perbukitan ini menempati dataran Tasikmalaya dengan luas sekitar 170 km2, dengan jarak sebaran terjauh 23 km dari kawah pusat dan terdekat 6,5 km. Lebar sebaran nya sekitar 8 km dengan sebaran terpusat pada jarak 10 – 15 km. Jumlah bukit nya sekitar 3.600 buah dengan tinggi bukit bervariasi antara 5 sampai 50 meter di atas dataran Tasikmalaya dengan diameter kaki bukit antara 50 – 300 meter serta kemiringan lereng antara 15o – 45o. Perbukitan ini terbentuk sebagai akibat dari letusan besar yang menghasilkan kaldera tapal kuda dan melongsorkan kerucut bagian timur-tenggara, yang terjadi sekitar 4200 tahun yang lalu.

Dalam sejarahnya Galunggung telah meletus empat (4) kali, yaitu pada 1822, 1894, 1918 dan 1982-83 dengan periode letusannya bervariasi dari beberapa jam hingga beberapa bulan [DVMBG, 2003]. Letusan 1822 terjadi dalam satu hari, pada tanggal 8 Oktober 1822, antara jam 13.00 hingga 17.00 WIB; sedangkan letusan 1894 terjadi selama 13 hari, pada tanggal 7-19 Oktober 1894. Letusan 1918 terjadi selama 4 hari, pada tanggal 16 - 19 Juli 1918, dan letusan 1982-83, terjadi selama 9 bulan, dari tanggal 5 April 1982 - 8 Januari 1983. Karakter letusan. Galunggung umumnya berupa erupsi leleran sampai dengan letusan yang sangat dahsyat yang berlangsung secara singkat atau lama, atau dari letusan yang bertipe Strombolian hingga Pellean.

Mengingat potensi bahaya letusannya, aktivitas gunung Galunggung dipantau secara kontinyu (24 jam) di Pos Pengamatan Gunungapi Galunggung, di kampung Sayuran. Pemantauan dilakukan dengan peralatan seismometer serta secara visual. Pengamatan kegempaan dengan seismometer ini dimulai Sejak awal April 1982 sampai Semarang. Disamping itu, dilakukan pula secara berkala penelitian lapangan di daerah puncak, berupa pengukuran temperatur air danau kawah dan solfatara/fumarola serta pengamatan perkembangan pertumbuhan kerucut sinder. Pemantauan kemagnetan juga pernah dilakukan selama periode September 1982 - Maret 1983. Disamping itu pada periode letusan 1982-83, juga dilakukan pemantauan deformasi dengan dengan metoda ungkitan (dry tilt) dan pengukuran jarak secara elektronis menggunakan EDM (Electronic Distance Measurement). Sejak Juni 2001, Departemen Teknik Geodesi ITB bekerjasama dengan Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi mulai melaksanakan pemantauan deformasi gunung Galunggung dengan metode Survei GPS [Abidin et al., 2002] yang berbasiskan pada pengamatan satelit GPS (Global Positioning System)

Pemantauan aktivitas deformasi gunungapi yang berada di wilayah Jawa Barat mulai dilakukan dengan menggunakan teknologi GPS secara episodik (berkala) oleh peneliti dari KK Geodesi FTSL ITB yang bekerja sama dengan tim dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana alam Geologi (DVMBG) dan Nagoya University Jepang mulai tahun 1996 sampai sekarang, dimana salah satu gunung yang diamati adalah gunung Galunggung.

Survei GPS untuk studi deformasi gunung Galunggung telah dilaksanakan tiga kali, yaitu masing-masing pada tahun 1999, 2001 dan 2002. Jaring GPS yang disurvei terdiri atas 9 titik. Titik POS yang berada di halaman depan Pos Pengamatan gunung Galunggung di Kampung Sayuran digunakan sebagai titik referensi, dan dalam analisa deformasi dianggap sebagai titik stabil yang tidak mengalami deformasi. Survei GPS dilaksanakan oleh tim dari Jurusan Teknik Geodesi ITB dan Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi dengan menggunakan tujuh receiver GPS tipe geodetik dua-frekuensi.

Di bawah ini adalah gambar-gambar dokumentasi survey lapangan pengambilan data GPS di titik-titik pantau deformasi gunung Galunggung. Titik Pantau dibangun di sekitar kawah gunung dan di bagian punggungan gunung.
Pemantauan deformasi gunung api dengan menggunakan GPS pada prinsipnya dapat dilakukan secara episodik atau kontinyu. Dalam pengamatan secara episodik, koordinat dari beberapa titik GPS yang dipasang pada gunung api, ditentukan secara teliti menggunakan metode survey GPS. Koordinat titik-titik ini ditentukan dalam selang periode tertentu secara berkala dalam selang waktu tertentu, dan dengan menganalisa perbedaan koordinat yang dihasilkan untuk setiap periode, maka karakteristik deformasi dari gunung api dapat ditentukan dan dianalisa.

Pemantauan deformasi secara kontinyu secara prinsip sama dengan pemantauan deformasi secara episodik, yang membedakannya hanya aspek operasional dari pemantauan. Dalam pemantauan deformasi secara kontinyu koordinat dari titik-titik GPS pada gunung api ditentukan secara real–time dan terus menerus dengan sistem yang disusun secara otomatis. Agar metode ini dapat dilakukan maka diperlukan komunikasi data antara titik-titik GPS pada gunung api dan stasiun pengamat.

Data yang dikumpulkan tiap survey selanjutnya diproses dan digabungkan dengan hasil pengolahan data survey sebelumnya untuk dianalisis karakteristik deformasi yang terjadi pada gunungapi Galunggung yang diamati. Strategi pengamatan dan pengolahan data yang optimal merupakan salah satu sasaran utama penelitian, untuk memperoleh hasil yang baik.

Dari hasil survei GPS yang telah dilaksanakan pada Juni 2001, Agustus 2002 dan Juni 2003 dapat disimpulkan bahwa pada saat ini gunung Galunggung belum menunjukkan tingkat deformasi yang membahayakan. Tingkat deformasi seandainyapun nyata masih berada pada level perubahan jarak horizontal sekitar 1-3 cm per tahunnya. Berdasarkan korelasi antara hasil ketiga survei GPS dengan hasil pemantauan kegempaan dengan seismometer, maka nampaknya tingkat deformasi dalam orde 1-3 cm per tahun tersebut belum merefleksikan tingkat aktivitas Galunggung yang membahayakan.

Dalam konteks kegiatan studi deformasi gunung Galunggung ini, disamping melanjutkan pelaksanaan metode survei GPS, korelasi yang lebih komprehensif antara karakteristik deformasi yang diperoleh dari GPS dengan karakteristik geologis, magmatis, dan hidrologis dari gunung Galunggung dan kawasan sekitarnya, juga akan ditelaah

Selasa, 04 Agustus 2009

tradisi syukursn kampung CIGUGUR

Masyarakat Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jabar masih kuat memegang tradisi karuhun (leluhur). Masyarakat agraris di kaki gunung Ciremai ini terbilang unik. Bentuk tradisi yang kerap digelar sebagai rasa syukur atas anugerah Yang Maha Kuasa itu antara lain Seren Taun. Upacara yang digelar tiap 22 Rayagung Tahun Saka ini sebagai wujud terima kasih kepada Sang Pencipta yang telah memberikan hasil panen, serta kehidupan yang harmonis.

Di lingkungan masyarakat adat Jawa Barat, ritual seren taun amat dikenal. Sebab dalam masyarakat agraris di tatar Pasundan, upacara semacam ini lazim dilakukan. Khusus di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, upacara seren taun mengambil titi mangsa (waktu) setiap tanggal 22 Rayagung. Penentuan tanggal ini bukan dilakukan secara sembarangan. Sebab ia mengandung makna yang sangat dalam.

Seperti diterangkan Antropolog dari Universitas Padjadjaran (Unpad) yang juga putra daerah Cigugur, Ira Indra Wardhana, S.Sos, makna 22 itu sebagai simbol dari unsur biologis yang ada didalam diri manusia. Selain itu, angka 22 pun mengandung makna sebagai sifat-sifat kemurahan Tuhan. Dan juga sebagai simbol hukum adikodrati manusia dan hukum Tuhan. Semisal adanya laki-laki dan perempuan, siang dan malam, atau susah dan senang.

“Dan manusia tidak bisa lepas dari hukum adikodrati tersebut di dalam kehidupannya,” ungkap Ira. Kemudian mengambil bulan Rayagung, menurut Ira, itu bermakna sebagai ungkapan merayakan keagungan Tuhan. Sehingga upacara ini lebih menekankan kepada rasa syukur sebagai manusia atas berkah yang telah Tuhan berikan. “Ritual ini pada jaman orde baru pernah mengalami pelarangan karena dianggap sebagai upacara yang dilakukan oleh sekelompok orang-orang tertentu, yang menganut ajaran Karuhun Urang,” bebernya.

Upacara ini, papar Ira, hampir selama 12 tahun pernah dilarang untuk diselenggarakan. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan politik di Indonesia, sejak tahun 1999, seren taun diadakan kembali. Keunikan upacara ini bukan hanya dihadiri oleh warga Cigugur dan Kuningan saja, melainkan juga dihadiri dan diikuti oleh berbagai suku bangsa yang ada di tanah air, termasuk dari negeri dan oleh berbagai agama dan aliran kepercayaan.

Seren Taun

Rabu (2/2) lalu, ribuan masyarakat tumplek di sekitar Gedung Paseban Tri Panca Tunggal, di Jalan Raya Cigugur. Itulah puncak Ritual Seren Taun digelar, setelah 5 hari 5 malam dilakukan. Upacara dimulai pagi hari dengan memperdengarkan Gamelan Renteng yang dimainkan nayaga. Suara kecapi suling turut mewarnai. Diawali dengan Tarian Buyung yang dimainkan oleh 12 penari wanita dengan membawa buyung di atas kepala dan kendi di ketiak. Tarian diiringi suara kecapi suling itu dimainkan lemah gemulai mengitari tugu depan Paseban Tri Panca Tunggal.

Tari Buyung ini menggambarkan sekelompok wanita desa yang tengah mengambil air sebagai lambang kesuburan bagian dari salah satu zat hidup. Tarian yang diselingi dengan gerakan melenggang di atas kendi melambangkan sangat bergantungnya manusia pada air.

Usai Tari Buyung, menyusul gelar Angklung Kanekes dan Dogdog Lonjor Baduy yang dimainkan delapan orang Baduy Kanekes. Mereka mengenakan ikat kepala biru, baju kampret hitam, kain sarung berwarna biru. Irama musik terdengar monoton. Konon, pada saat itu para karuhun turun dan ikut menari bersama para penari. Selanjutnya, puluhan kaum pria keluar dari empat penjuru angin membawa alat musik angklung.

Angklung Buncis, nama permainan itu. Alat musik dimainkan secara kolosal memenuhi pelataran Paseban Tri Panca Tunggal. Kehadiran permainan Angklung Buncis diikuti permainan gamelan renteng mengiringi prosesi Ngajayak yang diawali lulugu terdiri dari anak gadis pembawa nampan berisikan ikatan padi dan umbi-umbian. Sementara kaum pemudanya membawa perangkat musik, kaum ibu menyuhun nampan berisi ikatan padi diikuti kaum bapak dengan rengkongnya memikul ikatan padi.

Menurut pinisepuh masyarakat desa Cigugur, Pangeran Djatikusumah, prosesi Seren taun diawali dengan upacara ngajayak atau menjemput padi. Kebiasaan menjemput padi omo dilaksanakan empat hari sebelum upacara puncak berlangsung. "Ngajayak yang dilakukan pada tanggal 18 Rayagung, bermakna delapan welas dalam bahasa Sunda. Makna tersebut bila dikonotasikan memiliki arti menyambut cinta kasih atas kemurahan Tuhan," ungkap Pangeran Djatikusumah.

Kaum muda dengan ikatan padi untuk benih menggambarkan sebagai generasi penerus yang taat akan budaya leluhurnya. Sementara kaum ibu dengan menyuhun nampan berisikan ikatan pagi melambangkan ketulusan kaum wanita dalam memelihara turunan serta membina rumah tangga menemani suami. Sedangkan kaum bapak memikul ikatan padi dengan rengkong merupakan perlambang tanggung jawab sebagai suami dalam membina dan menjadi tulang punggung rumah tangga.

Iring-iringan benih padi ini merupakan prosesi yang dilakukan untuk musim tanam tahun depan. Sementara padi yang akan ditumbuk, di simpan ke lumbung. Pada saat inilah para tamu yang berasal dari beragam etnis seperti warga Dayak Indramayu, Aceh Gayo, Warga Pati, Baduy Kanekes, dan lainnya turut dalam rombongan. Tak ketinggalan tamu-tamu dari berbagai negara yang juga turut hadir.