Sabtu, 08 Agustus 2009



Danau Toba dengan pulau Samosir

Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik dengan ukuran luas 100km x 30km di Sumatera Utara, Sumatera, Indonesia. Di tengah danau ini terdapat sebuah pulau vulkanik bernama Pulau Samosir.

Danau Toba sejak lama menjadi daerah tujuan wisata penting di
Sumatera Utara selain Bukit Lawang dan Nias, menarik wisatawan domestik
maupun mancanegara.

Diperkirakan Danau Toba terjadi saat ledakan sekitar 73.000-75.000 tahun yang lalu dan merupakan letusan supervolcano (gunung berapi super) yang paling baru. Bill Rose dan Craig Chesner dari Michigan Technological University memperkirakan bahwa bahan-bahan vulkanik yang dimuntahkan gunung itu sebanyak 2800km3, dengan 800km3 batuan ignimbrit dan 2000km3
abu vulkanik yang diperkirakan tertiup angin ke barat selama 2 minggu.
Debu vulkanik yang ditiup angin telah menyebar ke separuh bumi, dari
cina sampai ke afrika selatan. Letusannya terjadi selama 1 minggu dan
lontaran debunya mencapai 10 KM diatas permukaan laut.
Kejadian ini menyebabkan kematian massal dan pada beberapa spesies juga diikuti kepunahan. Menurut beberapa bukti DNA,
letusan ini juga menyusutkan jumlah manusia sampai sekitar 60% dari
jumlah populasi manusia bumi saat itu yaitu sekitar 60 juta manusia.
Letusan itu juga ikut menyebabkan terjadinya zaman es, walaupun para
ahli masih memperdebatkan soal itu.
Setelah letusan tersebut, terbentuk kaldera yang kemudian terisi oleh air dan menjadi yang sekarang dikenal sebagai Danau Toba. Tekanan ke atas oleh magma yang belum keluar menyebabkan munculnya Pulau Samosir.

sejarah letusan gunung galunggung



Galunggung adalah gunungapi aktif strato tipe-A yang terletak di Kabupaten Tasikmalaya dan Garut, Jawa Barat dengan koordinat geografis sekitar 7° 15′ LS dan 108°03′ BT. Galunggung mempunyai ketinggian 2168 m di atas muka laut dan 1820 m diatas dataran Tasikmalaya. Berdasarkan catatan dari DVMBG, gunung Galunggung menempati daerah seluas ±275 km2 dengan diameter 27 km (barat laut-tenggara) dan 13 km (timur laut-barat daya). Di bagian barat berbatasan dengan G. Karasak, dibagian utara dengan G. Talagabodas, di bagian timur dengan G. Sawal dan di bagian selatan berbatasan dengan batuan tersier Pegunungan Selatan. Secara umum, G. Galunggung dibagi dalam tiga satuan morfologi, yaitu: Kerucut Gunung Api, Kaldera, dan Perbukitan Sepuluh Ribu
Kerucut gunung api, menempati bagian barat dan selatan, dengan ketinggian 2168 m diatas permukaan laut, dan mempunyai sebuah kawah tidak aktif bernama Kawah Guntur yang berbentuk melingkar berdiameter 500 meter dengan kedalaman 100 – 150 meter. Kerucut ini merupakan kerucut gunungapi Galunggung tua sebelum terbentuknya Kaldera, mempunyai kemiringan lereng hingga 30° di daerah puncak dan menurun hingga 5° di bagian kaki. Kaldera Galunggung berbentuk sepatu kuda yang terbuka ke arah tenggara dengan panjang sekitar 9 km dan lebar antara 2-7 km. Dinding Kaldera mempunyai ketinggian maksimum sekitar 1000 meter di bagian barat-barat laut dan menurun hingga 10 m di bagian timur-tenggara.

Di dalam kaldera terdapat kawah aktif berbentuk melingkar dengan diameter 1000 meter dan kedalaman 150 meter. Di dalam kawah ini terdapat kerucut silinder dengan ketinggian 30 meter dari dasar kawah dan kaki kerucut berukuran 250 x 165 meter yang terbentuk selama periode letusan 1982-1983. Pada Desember 1986, kerucut silinder ini tertutup oleh air danau kawah; dan pada 1997, setelah volume air danau kawah dikurangi melalui terowongan pengendali air danau, kerucut silinder ini muncul kembali di permukaan air danau. Perbukitan Sepuluh Ribu atau disebut juga perbukitan “Hillock”, terletak di lereng kaki bagian timur-tenggara dan berhadapan langsung dengan bukaan kaldera. Perbukitan ini menempati dataran Tasikmalaya dengan luas sekitar 170 km2, dengan jarak sebaran terjauh 23 km dari kawah pusat dan terdekat 6,5 km. Lebar sebaran nya sekitar 8 km dengan sebaran terpusat pada jarak 10 – 15 km. Jumlah bukit nya sekitar 3.600 buah dengan tinggi bukit bervariasi antara 5 sampai 50 meter di atas dataran Tasikmalaya dengan diameter kaki bukit antara 50 – 300 meter serta kemiringan lereng antara 15o – 45o. Perbukitan ini terbentuk sebagai akibat dari letusan besar yang menghasilkan kaldera tapal kuda dan melongsorkan kerucut bagian timur-tenggara, yang terjadi sekitar 4200 tahun yang lalu.

Dalam sejarahnya Galunggung telah meletus empat (4) kali, yaitu pada 1822, 1894, 1918 dan 1982-83 dengan periode letusannya bervariasi dari beberapa jam hingga beberapa bulan [DVMBG, 2003]. Letusan 1822 terjadi dalam satu hari, pada tanggal 8 Oktober 1822, antara jam 13.00 hingga 17.00 WIB; sedangkan letusan 1894 terjadi selama 13 hari, pada tanggal 7-19 Oktober 1894. Letusan 1918 terjadi selama 4 hari, pada tanggal 16 - 19 Juli 1918, dan letusan 1982-83, terjadi selama 9 bulan, dari tanggal 5 April 1982 - 8 Januari 1983. Karakter letusan. Galunggung umumnya berupa erupsi leleran sampai dengan letusan yang sangat dahsyat yang berlangsung secara singkat atau lama, atau dari letusan yang bertipe Strombolian hingga Pellean.

Mengingat potensi bahaya letusannya, aktivitas gunung Galunggung dipantau secara kontinyu (24 jam) di Pos Pengamatan Gunungapi Galunggung, di kampung Sayuran. Pemantauan dilakukan dengan peralatan seismometer serta secara visual. Pengamatan kegempaan dengan seismometer ini dimulai Sejak awal April 1982 sampai Semarang. Disamping itu, dilakukan pula secara berkala penelitian lapangan di daerah puncak, berupa pengukuran temperatur air danau kawah dan solfatara/fumarola serta pengamatan perkembangan pertumbuhan kerucut sinder. Pemantauan kemagnetan juga pernah dilakukan selama periode September 1982 - Maret 1983. Disamping itu pada periode letusan 1982-83, juga dilakukan pemantauan deformasi dengan dengan metoda ungkitan (dry tilt) dan pengukuran jarak secara elektronis menggunakan EDM (Electronic Distance Measurement). Sejak Juni 2001, Departemen Teknik Geodesi ITB bekerjasama dengan Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi mulai melaksanakan pemantauan deformasi gunung Galunggung dengan metode Survei GPS [Abidin et al., 2002] yang berbasiskan pada pengamatan satelit GPS (Global Positioning System)

Pemantauan aktivitas deformasi gunungapi yang berada di wilayah Jawa Barat mulai dilakukan dengan menggunakan teknologi GPS secara episodik (berkala) oleh peneliti dari KK Geodesi FTSL ITB yang bekerja sama dengan tim dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana alam Geologi (DVMBG) dan Nagoya University Jepang mulai tahun 1996 sampai sekarang, dimana salah satu gunung yang diamati adalah gunung Galunggung.

Survei GPS untuk studi deformasi gunung Galunggung telah dilaksanakan tiga kali, yaitu masing-masing pada tahun 1999, 2001 dan 2002. Jaring GPS yang disurvei terdiri atas 9 titik. Titik POS yang berada di halaman depan Pos Pengamatan gunung Galunggung di Kampung Sayuran digunakan sebagai titik referensi, dan dalam analisa deformasi dianggap sebagai titik stabil yang tidak mengalami deformasi. Survei GPS dilaksanakan oleh tim dari Jurusan Teknik Geodesi ITB dan Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi dengan menggunakan tujuh receiver GPS tipe geodetik dua-frekuensi.

Di bawah ini adalah gambar-gambar dokumentasi survey lapangan pengambilan data GPS di titik-titik pantau deformasi gunung Galunggung. Titik Pantau dibangun di sekitar kawah gunung dan di bagian punggungan gunung.
Pemantauan deformasi gunung api dengan menggunakan GPS pada prinsipnya dapat dilakukan secara episodik atau kontinyu. Dalam pengamatan secara episodik, koordinat dari beberapa titik GPS yang dipasang pada gunung api, ditentukan secara teliti menggunakan metode survey GPS. Koordinat titik-titik ini ditentukan dalam selang periode tertentu secara berkala dalam selang waktu tertentu, dan dengan menganalisa perbedaan koordinat yang dihasilkan untuk setiap periode, maka karakteristik deformasi dari gunung api dapat ditentukan dan dianalisa.

Pemantauan deformasi secara kontinyu secara prinsip sama dengan pemantauan deformasi secara episodik, yang membedakannya hanya aspek operasional dari pemantauan. Dalam pemantauan deformasi secara kontinyu koordinat dari titik-titik GPS pada gunung api ditentukan secara real–time dan terus menerus dengan sistem yang disusun secara otomatis. Agar metode ini dapat dilakukan maka diperlukan komunikasi data antara titik-titik GPS pada gunung api dan stasiun pengamat.

Data yang dikumpulkan tiap survey selanjutnya diproses dan digabungkan dengan hasil pengolahan data survey sebelumnya untuk dianalisis karakteristik deformasi yang terjadi pada gunungapi Galunggung yang diamati. Strategi pengamatan dan pengolahan data yang optimal merupakan salah satu sasaran utama penelitian, untuk memperoleh hasil yang baik.

Dari hasil survei GPS yang telah dilaksanakan pada Juni 2001, Agustus 2002 dan Juni 2003 dapat disimpulkan bahwa pada saat ini gunung Galunggung belum menunjukkan tingkat deformasi yang membahayakan. Tingkat deformasi seandainyapun nyata masih berada pada level perubahan jarak horizontal sekitar 1-3 cm per tahunnya. Berdasarkan korelasi antara hasil ketiga survei GPS dengan hasil pemantauan kegempaan dengan seismometer, maka nampaknya tingkat deformasi dalam orde 1-3 cm per tahun tersebut belum merefleksikan tingkat aktivitas Galunggung yang membahayakan.

Dalam konteks kegiatan studi deformasi gunung Galunggung ini, disamping melanjutkan pelaksanaan metode survei GPS, korelasi yang lebih komprehensif antara karakteristik deformasi yang diperoleh dari GPS dengan karakteristik geologis, magmatis, dan hidrologis dari gunung Galunggung dan kawasan sekitarnya, juga akan ditelaah

Selasa, 04 Agustus 2009

tradisi syukursn kampung CIGUGUR

Masyarakat Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jabar masih kuat memegang tradisi karuhun (leluhur). Masyarakat agraris di kaki gunung Ciremai ini terbilang unik. Bentuk tradisi yang kerap digelar sebagai rasa syukur atas anugerah Yang Maha Kuasa itu antara lain Seren Taun. Upacara yang digelar tiap 22 Rayagung Tahun Saka ini sebagai wujud terima kasih kepada Sang Pencipta yang telah memberikan hasil panen, serta kehidupan yang harmonis.

Di lingkungan masyarakat adat Jawa Barat, ritual seren taun amat dikenal. Sebab dalam masyarakat agraris di tatar Pasundan, upacara semacam ini lazim dilakukan. Khusus di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, upacara seren taun mengambil titi mangsa (waktu) setiap tanggal 22 Rayagung. Penentuan tanggal ini bukan dilakukan secara sembarangan. Sebab ia mengandung makna yang sangat dalam.

Seperti diterangkan Antropolog dari Universitas Padjadjaran (Unpad) yang juga putra daerah Cigugur, Ira Indra Wardhana, S.Sos, makna 22 itu sebagai simbol dari unsur biologis yang ada didalam diri manusia. Selain itu, angka 22 pun mengandung makna sebagai sifat-sifat kemurahan Tuhan. Dan juga sebagai simbol hukum adikodrati manusia dan hukum Tuhan. Semisal adanya laki-laki dan perempuan, siang dan malam, atau susah dan senang.

“Dan manusia tidak bisa lepas dari hukum adikodrati tersebut di dalam kehidupannya,” ungkap Ira. Kemudian mengambil bulan Rayagung, menurut Ira, itu bermakna sebagai ungkapan merayakan keagungan Tuhan. Sehingga upacara ini lebih menekankan kepada rasa syukur sebagai manusia atas berkah yang telah Tuhan berikan. “Ritual ini pada jaman orde baru pernah mengalami pelarangan karena dianggap sebagai upacara yang dilakukan oleh sekelompok orang-orang tertentu, yang menganut ajaran Karuhun Urang,” bebernya.

Upacara ini, papar Ira, hampir selama 12 tahun pernah dilarang untuk diselenggarakan. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan politik di Indonesia, sejak tahun 1999, seren taun diadakan kembali. Keunikan upacara ini bukan hanya dihadiri oleh warga Cigugur dan Kuningan saja, melainkan juga dihadiri dan diikuti oleh berbagai suku bangsa yang ada di tanah air, termasuk dari negeri dan oleh berbagai agama dan aliran kepercayaan.

Seren Taun

Rabu (2/2) lalu, ribuan masyarakat tumplek di sekitar Gedung Paseban Tri Panca Tunggal, di Jalan Raya Cigugur. Itulah puncak Ritual Seren Taun digelar, setelah 5 hari 5 malam dilakukan. Upacara dimulai pagi hari dengan memperdengarkan Gamelan Renteng yang dimainkan nayaga. Suara kecapi suling turut mewarnai. Diawali dengan Tarian Buyung yang dimainkan oleh 12 penari wanita dengan membawa buyung di atas kepala dan kendi di ketiak. Tarian diiringi suara kecapi suling itu dimainkan lemah gemulai mengitari tugu depan Paseban Tri Panca Tunggal.

Tari Buyung ini menggambarkan sekelompok wanita desa yang tengah mengambil air sebagai lambang kesuburan bagian dari salah satu zat hidup. Tarian yang diselingi dengan gerakan melenggang di atas kendi melambangkan sangat bergantungnya manusia pada air.

Usai Tari Buyung, menyusul gelar Angklung Kanekes dan Dogdog Lonjor Baduy yang dimainkan delapan orang Baduy Kanekes. Mereka mengenakan ikat kepala biru, baju kampret hitam, kain sarung berwarna biru. Irama musik terdengar monoton. Konon, pada saat itu para karuhun turun dan ikut menari bersama para penari. Selanjutnya, puluhan kaum pria keluar dari empat penjuru angin membawa alat musik angklung.

Angklung Buncis, nama permainan itu. Alat musik dimainkan secara kolosal memenuhi pelataran Paseban Tri Panca Tunggal. Kehadiran permainan Angklung Buncis diikuti permainan gamelan renteng mengiringi prosesi Ngajayak yang diawali lulugu terdiri dari anak gadis pembawa nampan berisikan ikatan padi dan umbi-umbian. Sementara kaum pemudanya membawa perangkat musik, kaum ibu menyuhun nampan berisi ikatan padi diikuti kaum bapak dengan rengkongnya memikul ikatan padi.

Menurut pinisepuh masyarakat desa Cigugur, Pangeran Djatikusumah, prosesi Seren taun diawali dengan upacara ngajayak atau menjemput padi. Kebiasaan menjemput padi omo dilaksanakan empat hari sebelum upacara puncak berlangsung. "Ngajayak yang dilakukan pada tanggal 18 Rayagung, bermakna delapan welas dalam bahasa Sunda. Makna tersebut bila dikonotasikan memiliki arti menyambut cinta kasih atas kemurahan Tuhan," ungkap Pangeran Djatikusumah.

Kaum muda dengan ikatan padi untuk benih menggambarkan sebagai generasi penerus yang taat akan budaya leluhurnya. Sementara kaum ibu dengan menyuhun nampan berisikan ikatan pagi melambangkan ketulusan kaum wanita dalam memelihara turunan serta membina rumah tangga menemani suami. Sedangkan kaum bapak memikul ikatan padi dengan rengkong merupakan perlambang tanggung jawab sebagai suami dalam membina dan menjadi tulang punggung rumah tangga.

Iring-iringan benih padi ini merupakan prosesi yang dilakukan untuk musim tanam tahun depan. Sementara padi yang akan ditumbuk, di simpan ke lumbung. Pada saat inilah para tamu yang berasal dari beragam etnis seperti warga Dayak Indramayu, Aceh Gayo, Warga Pati, Baduy Kanekes, dan lainnya turut dalam rombongan. Tak ketinggalan tamu-tamu dari berbagai negara yang juga turut hadir.

Air Terjun Curug Bangkok

Sisi Lain Air Terjun Curug Bangkong, Kuningan, Jawa Barat





Keindahan Curug Bangkong bukan saja nikmat untuk dipandang. Di balik keindahan itu, ternyata ada ‘bumbu penyedap’ lain yang tak kalah menarik. Yakni cerita-cerita dari ‘dunia lain’ yang selalu mewarnai keberadaannya. Kabarnya, banyak orang datang ke sini tak sekadar melancong, tapi untuk tujuan lain, seperti mencari berkah dan berburu kesaktian.

Ketinggian Curug Bangkong mencapai 23 m dengan lebar 3 meter. Bila musim hujan, debit airnya bakal membesar. Ketika itulah pemandangan fantastis bakal tercipta. Air terjun itu akan terbelah menjadi dua. Jangan heran bila orang-orang yang menyaksikannya akan berucap, “luar biasa!”. Dan rupanya, hal-hal luar biasa lainnya pun masih menjadi bagian dari daya tarik air terjun ini.

Curug Bangkong ternyata memiliki sejarah panjang yang jarang diketahui orang. Menurut cerita dari mulut ke mulut, dahulu kala, ada seorang tua bernama Wiria, berasal dari Ciamis. Ia seorang pertapa, yang sedang berkelana. Secara tak sengaja ia menemukan sebuah air terjun atau curug dalam bahasa Sunda. Ketika itulah batinnya merasa terpanggil oleh kekuatan gaib yang ada di sekitar curug. Wiria yakin itulah tempat yang tepat untuk melakukan ‘tirakatnya’. Pun ia yakin bila di tempat itu pula ia akan dapat ilafat.

Disela-sela tirakat panjangnya, pria berpostur tinggi besar ini menyempatkan diri bergaul dengan masyarakat. Tak hanya itu. Ia pun mendidik masyarakat setempat tata cara membuat gula kawung (gula merah), yang bahan mentahnya melimpah di lingkungan sekitar. Dengan setia pula masyarakat setempat mengikuti ajaran Wiria. Sehingga dalam waktu singkat, hampir seluruh penduduk desa pandai membuat gula kawung. Lama-lama pekerjaan itu menjadi mata pencaharian mereka.

Menjelma Kodok

Seiring dengan itu, nama Wiria menjadi tokoh yang disegani. Masyarakat memanggilnya Abah Wiria sebagai penghormatan. Suatu masa, kembali Wiria mendapat panggilan batin untuk melanjutkan tirakatnya. Ia pun kembali ke areal curug. Tak jelas betul di mana Abah Wiria melakukan semadinya. Itu karena Wirian diam-diam melakukannya. Menurut cerita pula, konon Abah wiria melakukan tapa bratanya itu di balik air terjun.

Lalu beredarlah informasi bila di balik air terjun itu ada sebuah gua atau lubang. Di duga kuat di gua itulah Abah Wiria melakukan semadinya. Berhari-hari, bahkan berbulan-bulan Abah Wiria berada di sana. Ini membuat warga desa bertanya-tanya. Mereka merasa kehilangan seorang tokoh yang selama ini membimbing. Mereka bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan Abah Wiria. Mereka juga khawatir terjadi sesuatu dengan tokoh yang berjasa itu.

Teka-teki keberadaan Abah Wiria pun merebak ke antero desa. Warga lantas berinisiatif mencarinya. Akan tetapi sosok Abah Wiria tak kunjung ditemukan. Ia hilang bak di telan bumi. Ada sebagian warga yang meyakini bila Abah Wiria sudah meninggal di dalam curug. Sementara yang lain meragukan karena jasadnya tak pernah ditemukan. Kabar yang paling santer adalah dugaan bila Abah Wiria menghilang (moksa) karena telah sempurna melaksanakan ritual tapa brata.

Macam-macam dugaan berkemang di dalam masyarakat yang mencintai Wiria. Sampai-sampai berkembang pula dugaan aneh soal Abah Wiria. Bahwa banyak yang meyakini bila tubuh orang tua itu telah menjelma menjadi seekor bangkong (kodok). Hal itu lantaran sepeninggal Abah Wiria, di sekitar air terjun itu sering terdengar suara kodok. Padahal selama ini, jarang warga di situ mendengar ada suara kodok. Anehnya, ketika suara kodok itu di dekati, tiba-tiba menghilang.

Berdasarkan dugaan itu, akhirnya air terjun itu diberinama Curug Bangkong. Dalam perkembangannya, banyak orang mengikuti jejak Abah Wiria bertapa di sekitar Curug Bangkong. Sehingga bila ada pendatang yang bermaksud melakukan tapa barata di sekitar curug, pasti akan disambut suara kodok. Nah, bila itu yang terjadi, konon seseorang akan bernasib baik. Doanya akan dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Wallahualam bis sawab.

Minta Tumbal

Ada lagi cerita lain di balik keindahan Curug Bangkong. Ternyata banyak juga yang mengatakan curug ini angker. Mengapa ? Hal ini bermula dari anggapan orang-orang di masa lalu yang mengaitkannya dengan peristiwa ditemukannya orang mati di sana. Mereka menganggap kematian itu sebagai tumbal keangkeran Curug Bangkong.

Peristiwa itu sendiri terjadi sekitar tahun 1944. Kala itu seorang pemuda bernama Yoyo, tewas di Curug Bangkong dan jasadnya tak pernah ditemukan. Pasca kejadian, para pengunjung Curug Bangkong dilarang mandi. Kemudian tahun 2002, seorang pemuda bernama Tatang (18), mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di sekitar curug. Dua kejadian ini membekas di dalam benak masyarakat, dan kemudian menganggap air terjun itu sebagai tempat yang angker.

Jadi, selain panorama yang indah, curug ini pun disebut-sebut sebagai tempat yang angker. Hal ini tak lepas dari kejadian yang pernah berlaku tahun 1970. Ketika itu, masyarakat melihat cahaya terang benderang yang melayang-layang di sekitar areal Curug Bangkong. Cahaya itu lantas mendarat dan menghilang di sebuah makam keramat yang ada di sana. Selidik punya selidik, ternyata itu adalah makam Pangeran Arya Salingsingan. Yakni seorang panglima Kerajaan Talaga, yang dipercaya sebagai koordinator syiar Islam di daerah Kuningan Barat. Beliau adalah seorang utusan Sunan Gunung Jati. Makam inilah yang setiap hari Selasa dan Kamis, ramai diziarahi orang.

Nah, kejadian itulah yang membuat pamor Curug Bangkong meningkat. Mereka meyakini curug itu bukan sembarang tempat. Banyak ahli-ahli kebatinan dan tenaga dalam merasakan kekuatan energi gaib di sekitar areal curug.

Lubang Misterius

Lalu, bagaimana dengan lubang misterius yang ada di balik curug Bangkong? Spiritualis Tatar Sunda, Ki Mohammad, mengungkap adanya sebuah lubang setinggi 1 meter dengan lebar 0,8 meter. Letaknya persis di belakang sebelah kiri curug itu. Konon pula, panjang gua itu hampir mencapai 1 Km (tepatnya 800 m). Sesepuh desa, Abah Mansur, menyebut ujung lubang itu tembus sampai ke Gunung Embun. Terbukti bila debit air mencapai 5 meter kubik atau lebih, maka embun akan keluar dari lubang-lubang yang ada di sana. Saat itu pemandangan akan semakin cantik. Kalau sinar matahari sedang terang, maka terlihat pelangi yang indah sekali.

Tahun 1950-an, pernah ada orang yang mengetes kedalaman lubang ini. Sebagai uji coba, dimasukkanlah seekor anjing yang diikat tali ke dalam lubang. Setelah sekian lama di tunggu, tali kemudian ditarik. Apa yang terjadi ? Ternyata si anjing menghilang dan yang kembali cuma ikatan tali di leher si anjing tadi. Menurut cerita dari mulut-ke mulut, konon anjing itu dimakan ular sanca kembang yang panjangnya mencapai 15 meter dan badannya sebesar paha orang dewasa.

Lubang gua yang diyakini ada di balik Curug Bangkong ini dibuat manusia pada zaman peralihan. Hal itu tampak dari adanya perubahan budaya pada bentuk fisik. Ki Mohammad, yang juga penggali khasanah budaya Kuningan, memperkirakan gua ini terbentuk semasa peralihan zaman batu ke zaman Islam. Hal itu ditandai adanya makam-makam tokoh Islam di sekita

Kampung yg Berpontensi Wisata


Kampung yang Berpotensi Wisata


KUNINGAN,(GM)-
Kampung Palutungan, Desa Cisantana, Kec. Cigugur, Kab. Kuningan yang berada di kaki Gunung Ciremai, banyak dikunjungi pendatang dari luar Kab. Kuningan, apalagi pada masa liburan. Para pengunjung datang untuk menikmati indahnya panorama Kampung Palutungan.
“Sudah selayaknya mendatangkan investor bermodal kuat yang mampu mengelola dan membudidayakan pariwisata Kampung Palutungan. Jangan dilihat sebelah mata, kawasan ini berpotensi untuk dikembangkan,” ujar Kusmadio (65), salah seorang pemilik lahan di Kampung Palutungan kepada “GM”, saat kunjungan Bupati Kuningan, H. Aang Hamid Suganda ke lokasi tersebut, Minggu (18/1).
Menurut Kusmadio, Kampung Palutungan yang berdekatan dengan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), memiliki potensi wisata yang menjanjikan. Lahan yang sedang dikelola dan sudah memiliki perizinan seluas 13 hektare. “Saya optimis Kampung Palutungan jadi kawasan wisata akan terwujud karena Bupati Kuningan mendukungnya,” ujarnya.
Sementara itu, Bupati Kuningan, H. Aang Hamid Suganda mengatakan, Kampung Palutungan memiliki prospek cerah untuk dikembangkan sebagai basis pertanian dan pariwisata. “Meski keuangan terbatas di APBD, penataan dan pengembangan Kampung Palutungan jadi prioritas. Apalagi telah ada investor yang telah melirik,” jelas Aang.

sejarah letusan gunung ciremai


Letusan G. Ciremai tercatat sejak 1698 dan terakhir kali terjadi tahun 1937 denganb selang waktu istirahat terpendek 3 tahun dan terpanjang 112 tahun. Tiga letusan 1772, 1775 dan 1805 terjadi di kawah pusat tetapi tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Letusan uap belerang serta tembusan fumarola baru di dinding kawah pusat terjadi tahun 1917 dan 1924. Pada 24 Juni 1937 � 7 Januari 1938 terjadi letusan freatik di kawah pusat dan celah radial. Sebaran abu mencapai daerah seluas 52,500 km bujursangkar (Kusumadinata, 1971). Hingga saat ini G. Ciremai telah beristirahat selama 61 tahun dan selang waktu tersebut belum melampaui waktu istirahat terpanjang. Pada tahun 1947, 1955 dan 1973 terjadi gempa tektonik yang melanda daerah baratdaya G. Ciremai, yang diduga berkaitan dengan struktur sesar berarah tenggara � baratlaut. Kejadian gempa yang merusak sejumlah bangunan di daerah Maja dan Talaga sebelah barat G. Ciremai tahun 1990 dan tahun 2001. Getarannya terasa hingga desa Cilimus di timur G. Ciremai.

Karakter Letusan

Karakter letusan G. Ciremai adalah berupa erupsi ekplosif bersekala menengah (dimanifestasikan oleh sejumlah endapan aliran dan jatuhan piroklastik). Secara berangsur kekuatan erupsi melemah dan cenderung menghasilkan erupsi magmatik.

Periode Letusan

Selang waktu istirahat aktivitas G. Ciremai terpendek 3 tahun dan terpanjang 112 tahun

sejarah letusan gunung ciremai

Letusan G. Ciremai tercatat sejak 1698 dan terakhir kali terjadi tahun 1937 denganb selang waktu istirahat terpendek 3 tahun dan terpanjang 112 tahun. Tiga letusan 1772, 1775 dan 1805 terjadi di kawah pusat tetapi tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Letusan uap belerang serta tembusan fumarola baru di dinding kawah pusat terjadi tahun 1917 dan 1924. Pada 24 Juni 1937 � 7 Januari 1938 terjadi letusan freatik di kawah pusat dan celah radial. Sebaran abu mencapai daerah seluas 52,500 km bujursangkar (Kusumadinata, 1971). Hingga saat ini G. Ciremai telah beristirahat selama 61 tahun dan selang waktu tersebut belum melampaui waktu istirahat terpanjang. Pada tahun 1947, 1955 dan 1973 terjadi gempa tektonik yang melanda daerah baratdaya G. Ciremai, yang diduga berkaitan dengan struktur sesar berarah tenggara � baratlaut. Kejadian gempa yang merusak sejumlah bangunan di daerah Maja dan Talaga sebelah barat G. Ciremai tahun 1990 dan tahun 2001. Getarannya terasa hingga desa Cilimus di timur G. Ciremai.

Karakter Letusan

Karakter letusan G. Ciremai adalah berupa erupsi ekplosif bersekala menengah (dimanifestasikan oleh sejumlah endapan aliran dan jatuhan piroklastik). Secara berangsur kekuatan erupsi melemah dan cenderung menghasilkan erupsi magmatik.

Periode Letusan

Selang waktu istirahat aktivitas G. Ciremai terpendek 3 tahun dan terpanjang 112 tahun

palutungan

Bagi anda yang kebetulan mempunyai rencana untuk mengadakan liburan di Kabupaten Kuningan, tidak ada salahnya jika menyempatkan untuk berkunjung ke obyek wisata Palutungan di Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, kurang lebih sembilan kilometer arah barat Kabupaten Kuningan.

Obyek wisata Palutungan, sebenarnya merupakan kawasan wisata yang sering dimanfaatkan untuk kegiatan camping, namun banyak pula yang berkunjung ke lokasi wisata ini sekedar menghilangkan kepenatan.

Kawasan wisata yang mempunyai areal camping kurang lebih 5 hektar ini, memang difungsikan untuk kegiatan perkemahan yang didukung panorama alam yang indah, udara sejuk dan pohon-pohon pinus yang tumbuh subur dibawah pengawasan Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kuningan.

Bumi Perkemahan Palutungan ini digemari oleh para remaja dan anak-anak, terutama pada saat liburan sekolah dan hari besar nasional. Bahkan pada saat tahun baru banyak yang mengadakan camping.

Di Buper Palutungan terdapat mata air curug Ciputri, Curug Landung, warung jajan serta areal parkir yang cukup luas. *

gunung ciremai


Kali ini kita membahas tentang gunung Ciremai. Gunung Ciremei adalah gunung tertinggi di Jawa Barat (3.078 Mdpl), dapat terlihat dengan jelas oleh para penumpang kereta api atau kendaraan umum lainnya sepanjang jalur pantura sekitar Cirebon.Untuk menuju puncak Ciremei terdapat 3 jalur yang dapat ditempuh yakni jalur Majalengka jalur Palutungan dan jalur Linggarjati. Jalur Linggarjati merupakan yang paling terjal dan terberat, namun jalur ini merupakan yang paling sering dilalui pendaki.

Gunung Ceremai memiliki keistimewaan tersendiri bila dibandingkan dengan gunung-gunung lain di pulau Jawa. Gunung ini terletak berjauhan dari gunung tinggi lainnya dan sisinya adalah Laut Jawa. Perjalanan ke G. Ceremai dapat dimulai dari terminal Cirebon, naik bus menuju Kuningan dan turun di Cilimus. Dari Cilimus kita sambung dengan kendaraan colt atau ojek ke desa Linggarjati.
Di desa Linggarjati, kita dapat menginap di Hotel Linggarjati. Dari hotel Linggarjati kita meneruskan perjalanan melalui gedung Naskah ke arah Barat sampai sekitar Balai Desa Linggarjati. Disini kita menemui seseorang mantan pendaki atau tepatnya juru kunci, yang berpengalaman bernama pak Ahmad, yang karena usia kini beliau mengalami gangguan penglihatan. Foto juru kunci gunung Ciremai yang disegani.

Dari sini kita berjalan lurus dan akan menemui hutan pinus, lalu kita akan sampai pada jalan bercabang, yang dinamakan Cibunar. Di tempat ini kita dapat mendirikan tenda karena tersedia mata air. Perjalanan dilanjutkan dengan memilih jalan ke kiri menuju puncak gunung Ciremai. 5 jam kemudian kita akan menemui sebuah batu besar, yang lokasinya dijadikan POS istirahat yang disebut Watu Lingga. Dari Lingga menuju puncak (kawah) ditempuh dalam 2-3 jam perjalanan melalui hutan dan batu-batuan cadas. Dari puncak ke arah kanan kita bisa langsung ke kawah belerang yang memakan waktu sekitar 1 jam
perjalanan. Untuk mengitari puncak diperlukan waktu 2½ jam, kita dapat melihat pemandangan menarik kearah kota Majalengka, Bandung, Laut Jawa dan lainnya. Turun dari puncak ke desa Linggarjati ditempuh dalam waktu 3-4 jam.

lingarjati




Linggarjati Kuningan Ada satu tempat wisata di daerah Kuningan, 30 menit dari kota Cirebon. Tempat ini bernama Linggarjati. Tempat ini mudah dicapai dari kota Cirebon, ambil arah menuju Kuningan, nanti ada papan petunjuk jalan menuju tempat ini. Tempat yang dulunya adalah hotel ini, memiliki halaman yang luas. Di tempat ini pada tanggal 15 Nov 1946 terjadi peristiwa perundingan Linggarjati, yaitu dimana negara Belanda mengakui kedaulatan negara Republik Indonesia. Linggarjati1Untuk masuk ke dalamnya tidak dipatok biaya, hanya mengisi buku tamu dan sumbangan untuk perawatan saja, Di dalamnya terdapat pemandu wisata yang menceritakan sejarah dari gedung tersebut. Tidak ada pungutan tambahan untuk itu, hanya sumbangan sukarela dari pengunjung untuk pemandu tersebut. Di dalamnya terdapat benda-benda yang masih dijaga keasliannya, seperti meja dan kursi rapat, lemari, tempat tidur dan jam besar. Memang ada beberapa furnitur yang merupakan replika dari aslinya. Di sana juga terdapat beberapa foto dan diorama yang menggambarkan suasana perundingan tempo doeloe. ODTW Linggarjati Indah terletak di lereng Gunung Ciremai desa Linggarjati kecamatan Cilimus, jarak dari kota Kuningan ± 14 km kearah utara atau ± 26 km dari arah kota Cirebon kearah selatan. Dari ODTW Gedung naskah Linggarjati ± 100 meter tempat ini luasnya ± 11,5 ha dan sebagian arealnya terdapat tumbuh-tumbuhan tropis berhawa sejuk cocok untuk tempat Rekreasi dan Perkemahan.
Fasilitas lain yang tersedia adalah :

• Kolam renang standar nasional
• Kolam pemancingan

• Sepeda air

• Sarana akomodasi
• Kios cinderamata

• Restoran


Kuningan is the old mountain resort. Hot water pool and old fashion swimming pool. The uniqueness of this pool is swimming among the fish. The water is really clean as it come from the natural fountain. The fish preserve as the local mithology that disturbing the fish would cause a curse. Kuningan, di saat langit cerah, pemandangan indah dgn latar belakang gunung yang menjulang tinggi. Terletak di belahan baratdaya kaki Gunung Ciremai Jawa Barat. Gunung api tsb. sudah 56 tahun istirahat dalam status aktif normal. Setiap tahunnya tak pernah kurang dikunjungi puluhan ribu pendaki. Di wilayah Kecamatan Cilimus, wisatawan bisa melepas lelah di objek wisata Sangkanurip Alami, sebuah tempat rekreasi dengan pemandian air panas alami beryodium. Di sekitarnya juga tersedia hotel yang di setiap kamarnya difasilitasi air panas . Di Grage Sangkan dan Tirta Sanita, kawasan Sangkanurip, terdapat fasilitas untuk terapi kebugaran Sante Par Aqua. Masih di sekitar kaki Ciremai, wisatawan dapat menyaksikan kolam-kolam berisi ikan kancra bodas. Jenis ikan langka yang disebut-sebut sebagai ikan keramat atau ikan dewa . Ikan2 tsb. terdapat di kolam renang Cibulan, kolam renang Cigugur, dan di objek wisata Balong Keramat Darmaloka. Ketiga lokasi wisata itu sangat mudah dicapai dan sangat berdekatan dengan lintasan jalan raya Cirebon-Ciamis. Khusus Cibulan kita berenang bersama ikan2 besar yg jinak di kolam renang alam yg airnya sangat jernih sejernih aqua. Sungguh keunikan ini tidak ditemui ditempat lain. Anak2 pasti senang mendapatakan pengalaman baru disini- mandi bersama ikan Masih ditempat yg sama, ada 7 mata air yg diyakini oleh mitos setempat memiliki nilai2 supranatural.